Hari ini saya tergesa-gesa ke kantor, tepat di perempatan lampu telah menyala kuning, entah kenapa saat itu saya berpikir untuk berhenti daripada tancap gas untuk menghindari lampu merah, seperti yang selama ini saya lakukan dan seperti kebanyakan orang lakukan.
Di dalam penantian menunggu lampu menyala hijau, saya berpikir mengapa selama ini saya selalu menuruti naf-su kegilaan saya untuk tidak mengindahkan aturan lampu lalu lintas, padahal kalau dihitung-hitung cuma menunggu selama 100 detik, kurang dari 2 menit. Kalau saya ingat bahkan saya malu sendiri, dengan melihat betapa wajah orang-orang yang mengejar lampu kuning kelihatan se-ram saking tegang memburu nafsu ingin cepat-cepat. Apalagi bagi pengendara yang membunyikan klakson beruntun dengan keras tak henti-hentinya, saat lampu sudah menyala hijau tetapi barisan motor di depannya masih belum bergerak lalu lampu sudah mulai kuning lagi gara-gara sepeda motor orang yang paling depan mogok. Wajah mereka benar-benar tampak mengerikan, kalau saja saya sudah mempunyai kemampuan melihat dimensi lain, mungkin yang saya lihat di balik wajah orang-orang itu adalah wajah iblis, iblis yang selama ini mempengaruhi manusia memelihara watak keiblisan dengan melakukan segala hal yang mementingkan diri sendiri tanpa melihat kepentingan orang lain, atau tanpa mau peduli kepada nasib orang lain dengan belas kasih. Apakah mungkin orang-orang juga tidak ingin semuanya lancar?, apakah mungkin orang yang kendaraannya macet menginginkan mogok di tengah jalan agar semua orang tidak bisa jalan dan mengomelinya?
Sorenya saya pulang dari kerja juga mengalami hal yang sama, ketika mendapat lampu kuning saya berhenti. Saat menunggu giliran jalan, dari arah kanan yang mendapat giliran lampu hijau mereka pada tancap gas. Detik-detik terakhir saya lihat orang makin beringas mengejar lampu kuning. Di barisan terakhir saya lihat sebuah sedan dikendarai seorang ibu dengan anak usia 12 tahunan di sampingnya. Mungkin karena sudah lampu merah dia tetap menerjang jalan, dari arah satunya orang berbondong-bondong mengklakson ibu tersebut karena masih di tengah perempatan. Ibu itupun tergagap dan agak grogi sehingga langsung tancap gas nyaris menabrak sepeda di depannya.
Melihat adegan itu semua, sejenak saya berpikir mengapa orang tidak pernah berpikir untuk bersabar sedikit untuk kepentingan orang lain, kalau alasannya karena tidak ingin telat sampai di kantor mengapa berangkat tidak lebih awal sedikit atau bangun lebih pagi sedikit. Kalau takut ditangisi anak karena pulang agak terlambat, apakah hanya karena menunggu 100 detik saja mereka tidak sabar? Bagaimana orang tua bisa mengajarkan kesabaran pada anak-anaknya jika seorang ibu saja tidak bisa memberi contoh untuk bersabar dan bahkan melanggar peraturan?
Sejak saat itu saya mencoba untuk belajar sabar dari hal-hal yang kelihatan sepele tanpa harus menggerutu seperti berhenti di lampu merah, saat antri beli sesuatu atau bayar sesuatu, ataupun saat apa saja yang memang mengharuskan saya ikut barisan untuk antri. Bukan membuat barisan baru lagi, yang pada akhirnya tetap berdesak-desakan juga, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang kita selama ini.
Soal budaya antri ataupun kedisiplinan saya paling salut dengan budaya masyarakat di negara-negara maju. Mengapa hanya soal budaya antri dan disiplin saja kita kalah dengan mereka? Apa yang membedakan? Soal pelajaran agama ataupun pelajaran yang lain yang diajarkan di sekolah kita bukankah juga mengajarkan kita untuk tertib dalam segala hal, sama dengan yang diajarkan di negara maju? Mungkin yang membedakan adalah hati kita yang memang tidak mau mengikuti hal-hal yang baik. Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengatur hati kita, kecuali kesadaran kita sendiri. Dan jika kesadaran kita saja tidak bisa mengatur hati kita, lalu siapa yang mengendalikan hati kita sehingga selalu ingin melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari kebenaran, kedisiplinan, kebajikan dan kesopanan? Mungkinkah informasi-informasi dari hal-hal yang negatif, yang kita percayai dalam agama adalah iblis, setan serta teman-teman segolongannya?
Kata "sabar" menulisnya gampang tetapi latihannya butuh seumur hidup dan itu pun belum tentu dapat mewujudkannya dalam satu kali kehidupan kita.